LUVTRIP.ID: Tradisi Kande-Kandea merupakan tradisi makan bersama yang umum ditemukan pada masyarakat Buton. Di Kabupaten Buton, tiga etnis yang masih secara rutin melaksanakan tradisi ini adalah etnis Cia-Cia, Muna (Pancana), dan Wolio. Masing-masing etnis memberikan penamaan yang berbeda atas tradisi ini, seperti kafoma-foma'a bagi etnis Muna (Pancana), maataa bagi etnis Cia-Cia, dan peka kande-kandea bagi etnis Wolio[i]
Secara umum, tradisi Kande-Kandea melibatkan unsur hiburan dan ritual, serta terdapat interaksi sosial, politik, dan budaya di dalamnya. Pada zaman dulu, tradisi ini menjadi cara untuk menyambut pulangnya para laskar Kesultanan Buton dari medan perang. Para gadis bersiap dengan makanan untuk menyuapkannya ke para anggota laskar yang lelah sebagai penghargaan atas perjuangan mereka.
Acara Kande-Kandea juga menjadi tempat pertemuan muda-mudi, di mana remaja putera dan puteri dapat saling pandang. Kini, tradisi Kande-Kandea masih hidup dan menjadi simbol kesatuan sosial dan mistis masyarakat Buton.
Namun, tradisi ini juga diatur oleh dua kekuatan yang berbeda, yaitu negara dan adat. Bagi masyarakat adat Baruta Analalaki, acara Kande-Kandea dilaksanakan secara sederhana, bersifat ritual, dan dilaksanakan secara tertutup di rumah adatnya.
Tradisi Kande-Kandea kabolosi yang dilakukan oleh masyarakat adat Baruta Analalaki hanya dapat dihadiri oleh masyarakat adat dari beberapa desa, yaitu Desa Tolandona, Baruta Analalaki, Baruta, dan Tampuna. Konon, mereka merupakan kelompok masyarakat bangsawan Buton yang fermium di wilayah pesisir.
Konsep ritual Kande-Kandea kabolosi adalah masyarakat mempersembahkan makanan kepada arwah leluhur dan dimakan secara bersama-sama, seperti slametan pada masyarakat Jawa. Tradisi Kande-Kandea kabolosi meliputi lima rangkaian ritual yaitu ziarah Fompua dan Dampu, powintahano lima, kande-kandeano fompu'a, kande-kandeano kabolosi dan kadandio.
Meskipun diatur oleh dua kekuatan yang berbeda, tradisi Kande-Kandea masih menjadi warisan budaya yang penting bagi masyarakat Buton. Tradisi ini tidak hanya melibatkan makanan, tetapi juga memiliki nilai-nilai sosial, politik, dan mistis yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Buton.