Indonesia memiliki ribuan destinasi wisata dengan kekayaan budaya, alam, dan tradisi lokal yang unik. Namun, potensi besar ini seringkali hanya dinikmati sebagai objek, bukan ruang belajar yang aktif dan transformatif. Di sinilah experiential learning atau pembelajaran berbasis pengalaman hadir sebagai pendekatan strategis, tidak hanya untuk pendidikan pariwisata, tetapi juga untuk mendorong partisipasi dan pemberdayaan masyarakat desa wisata.
Apa itu Experiential Learning dan Mengapa Penting dalam Pariwisata?
Experiential learning adalah pendekatan pembelajaran yang menekankan pada pengalaman langsung, refleksi, dan keterlibatan aktif sebagai sumber utama pengetahuan. David Kolb (1984) merumuskan bahwa proses ini terdiri dari empat tahap: pengalaman konkret, observasi reflektif, konseptualisasi abstrak, dan eksperimen aktif. Dalam konteks pariwisata, ini berarti pelajar atau wisatawan tidak hanya melihat atau membaca, tetapi ikut mengalami, mempraktikkan, dan merefleksikan nilai-nilai dari destinasi tersebut.
Siklus Experiential Learning (Kolb)
Dalam studi oleh Croft & Wang (2023), experiential learning terbukti meningkatkan pemahaman lintas disiplin dan mendorong keterampilan praktis seperti pemecahan masalah, komunikasi, dan adaptasi budaya—semua hal esensial dalam industri pariwisata. Program seperti ITHAS (International Tourism and Hospitality Academy at Sea) bahkan menjadikan kapal wisata sebagai laboratorium hidup bagi mahasiswa, mengintegrasikan teori dengan praktik secara imersif.
💡 “Wisata bukan hanya tentang melihat, tetapi tentang mengalami. Saat masyarakat dan wisatawan belajar bersama di destinasi, di situlah pariwisata menjadi ruang edukasi dan pemberdayaan.”
Bagaimana Desa Wisata Dapat Menjadi Ruang Experiential Learning?
Desa wisata adalah laboratorium nyata. Wisatawan dan pelajar bisa ikut menenun, bertani, memasak makanan lokal, atau melakukan konservasi alam, bukan sekadar menonton. Dengan begitu, mereka belajar dari warga desa, merasakan dinamika lokal, dan membawa pulang pengalaman bermakna. Studi oleh Arcodia et al. (2020) menunjukkan bahwa pengalaman semacam ini membangun koneksi sosial dan profesional yang kuat, serta meningkatkan kesadaran budaya dan keberlanjutan.
Sebaliknya, masyarakat desa pun memperoleh manfaat: peningkatan kapasitas, pendapatan alternatif, dan pelestarian warisan budaya. Ini sejalan dengan konsep regenerative tourism, yang menekankan hubungan saling menguntungkan antara wisatawan dan tuan rumah, seperti ditunjukkan oleh Frida Omma (2024) dalam studi tentang pemandu wisata di Arktik Norwegia.
Mengapa Penting Sekarang?
Pasca pandemi, wisatawan global mencari pengalaman autentik, bukan sekadar kunjungan. Selain itu, pendidikan pariwisata kini dituntut menghasilkan lulusan yang siap terjun di dunia nyata. Menghubungkan experiential learning dengan desa wisata adalah jawaban atas tantangan transformasi industri: memperkuat keterampilan praktis, mendekatkan pendidikan ke lapangan, dan menciptakan ekosistem pariwisata yang berdaya dan lestari.
Siapa yang Terlibat dan Bertanggung Jawab?
Perguruan tinggi pariwisata, pengelola desa wisata, komunitas lokal, dan pemerintah daerah memiliki peran strategis. Kolaborasi antar pemangku kepentingan sangat krusial dalam mendesain program experiential learning: mulai dari kurikulum berbasis lapangan, pelatihan pemandu komunitas, hingga pengembangan paket wisata edukatif.
Di Mana dan Kapan Diterapkan?
Penerapan dapat dimulai dari desa wisata yang sudah berkembang seperti Penglipuran di Bali, hingga destinasi potensial seperti desa-desa adat di Ternate atau Subang. Kapan? Sekarang juga. Momentum kebangkitan pariwisata pasca TTDI 2024 harus dimanfaatkan untuk menggeser paradigma: dari wisata konsumtif ke wisata edukatif dan transformatif.
Bagaimana Agar Efektif?
Pertama, perlunya kurikulum kolaboratif antara institusi pendidikan dan desa wisata. Kedua, fasilitasi digital agar promosi dan pendaftaran program experiential learning mudah diakses. Ketiga, monitoring dan evaluasi dampak sosial untuk memastikan keberlanjutan dan manfaat nyata bagi masyarakat lokal.
Dari Destinasi Menjadi Kelas Hidup
Dengan experiential learning, desa wisata bukan lagi sekadar objek kunjungan, tetapi ruang belajar hidup yang membangun koneksi, pengalaman, dan nilai. Sudah saatnya pariwisata Indonesia melahirkan wisatawan yang belajar, dan masyarakat yang berdaya. Transformasi ini tak hanya meningkatkan kualitas destinasi, tetapi juga menjadi jawaban atas kebutuhan pendidikan pariwisata masa depan.